Advertisement

Sunday, May 15, 2011

Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)

Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah perubahan dari nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang merupakan salah satu wujud dari Arbitrase Islam yang pertama kali didirikan di Indonesia. Pendirinya diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), tanggal 05 Jumadil Awal 1414 H bertepatan dengan tanggal 21 Oktober 1993 M. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) didirikan dalam bentuk badan hukum yayasan sesuai dengan akta notaris Yudo Paripurno, S.H. Nomor 175 tanggal 21 Oktober 1993.

Peresmian Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) dilangsungkan tanggal 21 Oktober 1993. Nama yang diberikan pada saat diresmikan adalah Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). Peresmiannya ditandai dengan penandatanganan akta notaris oleh dewan pendiri, yaitu Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat yang diwakili K.H. Hasan Basri dan H.S. Prodjokusumo, masing-masing sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Umum Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sebagai saksi yang ikut menandatangani akta notaris masing-masing H.M. Soejono dan H. Zainulbahar Noor, S.E. (Dirut Bank Muamalat Indonesia) saat itu. BAMUI tersebut di Ketuai oleh H. Hartono Mardjono, S.H. sampai beliau wafat tahun 2003.

Kemudian selama kurang lebih 10 (sepuluh) tahun Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) menjalankan perannya, dan dengan pertimbangan yang ada bahwa anggota Pembina dan Pengurus Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) sudah banyak yang meninggal dunia, juga bentuk badan hukum yayasan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sudah tidak sesuai dengan kedudukan BAMUI tersebut, maka atas keputusan rapat Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Nomor : Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) diubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang sebelumnya direkomendasikan dari hasil RAKERNAS MUI pada tanggal 23-26 Desember 2002. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang merupakan badan yang berada dibawah MUI dan merupakan perangkat organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI). Di Ketuai oleh H. Yudo Paripurno, S.H.

FATWA DSN MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang MURABAHAH

Ketentuan hukum dalam FATWA DSN MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang MURABAHAH ini adalah sebagai berikut :

Pertama : Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syari’ah:

1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.

2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam.

3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.

4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.

5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.

6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.

7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.

8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.

9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.

Kedua : Ketentuan Murabahah kepada Nasabah:

1. Nasabah mengajukan permohonan dan janji pembelian suatu barang atau aset kepada bank.

2. Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.

3. Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan janji yang telah disepakatinya, karena secara hukum janji tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.

4. Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.

5. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut.

6. Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.

7. Jika uang muka memakai kontrak ‘urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka

a. jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga.

b. jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.

Friday, April 15, 2011

Riba Masuk Desa

Kalau anda cukup jeli memperhatikan lingkungan sekeliling kemungkinan besar anda akan temukan sepanduk atau bahkan semacam 'batu prasasti' yang dipasang di depan gang-gang sempit. Isinya pemberitahuan tentang proyek 'betonisasi jalan', dengan logo PNPM di sebelah kiri, dan sejumlah info lain tentang nilai proyek, dan pelaksananya, yang disebut sebagai KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat).



Betul, itulah salah satu bentuk proyek dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri). Di antara berbagai proyek PNPM ini ada yang dinamakan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). Definisinya adalah "dana stimulan keswadayaan yang diberikan kepada kelompok masyarakat untuk membiayai sebagian kegiatan yang direncanakan oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan terutama masyarakat miskin."

Tapi, sadarkah masyarakat bahwa itu hanyalah manipulasi para bankir belaka? Yang disebut 'Bantuan Langsung' itu, tiada lain, adalah utang berbunga - yang diambil oleh pemerintah, dengan mengatasnamakan rakyat, tentu saja. Ini hanyalah satu contoh dari sekian banyak bisnis uang para bankir, dalam berbagai proyek setiap tahunnya, melalui apa yang disebut sebagai 'APBN' (Angaran Pendapatan dan Belanja Negara) itu.

Total nilai utang untuk proyek PNPM ini adalah 252.68 juta dolar AS, sekitar Rp 2.22 triliun (dengan nilai tukar Rp 8.800/dolar AS). Sumber utang terutama dari Bank Dunia, di samping ada beberapa sumber lain. Proyek ini sendiri berlangsung selama tiga tahun, dari 2008-2011. Dan, lihat struktur programnya, begitu rumit, begitu panjang, dana utang yang sebenarnya tak dibutuhkan rakyat itu pun, boleh jadi sebagian besar hanya untuk membiayai birokrasinya.



Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang diklaim sebagai penerima utang itu pun, sudah pasti, hasil manipulasi. Lihat saja nama-namanya: KSM Mangga, KSM Kecoa, KSM Belimbing, dsb, yang bisa dipastikan hanya siluman belaka. Dan, bisa diperkirakan akibatnya, gang-gang sempit yang bahkan tak sampai 1 meter lebarnya, yang baisanya menjadi lahan gotong royong masyarakat sendiri, secara swadaya dan mandiri, kini jadi lahan riba masuk desa.

Maka, alih-alih menghaslkan kemandirian, PNPM Mandiri ini hanya makin memerosokkan masyarakat dalam kubangan riba, dengan segala akibat yang ditimbulkannya: pajak yang makin berat dan kolonialisme baru para bankir atas bangsa ini yang makin mencengkeram. Semua warga bangsa kini berada di bawah cengkeraman debtorship ini. Setiap bayi yang terlahir di Indonesia, langsung di pundaknya membawa beban utang sekitar Rp 7 juta!

Sumber: http://www.wakalanusantara.com

Sunday, February 13, 2011

Anggota DPR Bakal Gugat UU BI

Dinilai kewenangan yang dimiliki Bank Indonesia (BI) terlalu besar, sejumlah anggota DPR dari Komisi XI bakal menggugat UU BI khususnya pasal 60 UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI).

Hal itu disampaikan oleh Mohammad Hatta anggota Komisi XI saat ditemui di gedung Mahkamah Konstitusi (MK) seusai melakukan konsultasi dengan Ketua MK, Mahfud MD, pekan kemarin. Hatta berpendapat pasal 60 UU Nomor 23 Tahun 1999 ini telah membuat BI mengajukan anggaranya tanpa persetujuan DPR.

Disebutkan dalam Pasal 60 ayat (1), Tahun anggaran Bank Indonesia adalah tahun kalender. Ayat (2),Selambat-lambatnya 15 hari sebelum dimulai tahun anggaran, Dewan Gubernur menetapkan anggaran tahunan Bank Indonesia yang harus disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah bersamaan dengan evaluasi pelaksanaan anggaran tahun berjalan

Kemudian Ayat (3), Setiap penambahan jumlah anggaran pengeluaran yang diperlukan dalam tahun anggaran berjalan harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Gubernur. "Kewenangan itu melampaui kewenangan APBN, ini hal aneh, tidak lazim, karena mereka beralasan independensi BI," katanya.

Selain itu anggota DPR mempermasalahkan BI yang tidak menguraikan penggunaan anggaran untuk anggaran kebijakan moneter. "Jika ini diberitahukan DPR juga akan merahasiakn data itu karena itu memang rahasia negara," katanya.

Friday, February 11, 2011

Direksi Bank Aceh Kini Lengkap, Islamuddin Dirut, Setia Budi Komut

BANDA ACEH - Islamuddin yang sampai pagi kemarin masih menjabat Area Manager Bank Mandiri Banda Aceh, dipilih dan ditetapkan sebagai Direktur Utama (Dirut) Bank Aceh untuk periode 2011-2015. Ia menggantikan pejabat lama, H Aminullah Usman yang telah habis masa jabatannya pada Juni 2010.

Islamuddin terpilih dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB) Bank Aceh yang diselenggarakan di Pendapa Gubernur Aceh, Kamis (10/2), oleh pemegang saham pengendali Bank Aceh, yaitu Gubernur Aceh Irwandi Yusuf bersama pemegang saham lainnya, yakni 23 bupati/wali kota se-Aceh.

Sedangkan untuk jabatan komisaris utama (komut), yang sebelumnya dijabat mantan sekda Aceh, Husni Bahri TOB, dalam RUPS-LB Bank Aceh kemarin, seluruh pemegang saham mengusulkan dan menetapkan Teuku Setia Budi yang kini Sekda Aceh sebagai Komisaris Utama (Komut) Bank Aceh.

Pada acara pelantikan Kamis siang yang dilakukan Gubernur Irwandi, hanya jabatan direksi yang dilantik, yaitu Dirut terpilih Islamuddin dan Direktur Kepatuhan Bank Aceh, Tawakal Alaihi. Sedangkan Komut baru dan dua anggota yang baru dipilih tidak dilantik, cukup dibacakan saja SK pengangkatannya. SK itu diteken Gubernur Irwandi Yusuf.

Dengan pelantikan Dirut dan Direktur Kepatuhan itu, maka jumlah direksi Bank Aceh sudah lengkap lima orang, yaitu Dirutnya Islamuddin, Direktur Kepatuhan Tawakal Alaihi, Direktur Pemasaran/Kredit, Busra, Direktur Syariah, Haizir Sulaiman, dan Direktur Umum dan SDM, Irfan Sofni.

Thursday, February 10, 2011

Duta Besar Kanada: Aceh Prospek untuk Investasi

BANDA ACEH - Duta Besar Kanada, Mackenzie Clugston, menilai Aceh termasuk salah satu daerah yang memiliki prospek untuk investasi. Indikasi itu ia lihat dari kondisi Aceh saat ini yang sudah aman dan memiliki sumber daya alam cukup besar, yang belum diolah secara maksimal.

“Bagaimana cara untuk menarik investor bisa menanamkan modalnya di daerah sangat tergantung dari pemerintah dan masyarakatnya,” ujar Mackenzie kepada wartawan usai melakukan pertemuan tertutup selama dua jam dengan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, Rabu (9/2).

Menurut Mackenzie, rakyat dan pemerintah Kanada sangat berempati kepada masyarakat Aceh, terutama pascabencana tsunami. Buktinya pemerintah Kanada sudah memberi bantuan untuk Aceh sebesar 2 juta dollar.

BI Ingin Kelola "Hot Money"

Bank Indonesia (BI) akhirnya mengambil kebijakan untuk tak menerbitkan lagi Sertifikat Bank Indonesia (SBI) bertenor jangka pendek atau kurang dari sembilan bulan. Alasannya, untuk mengelola dana asing alias hot money. Ini sekaligus untuk mencegah dana asing keluar.

Asal tahu saja, BI mempunyai berbagai jenis SBI tergantung tenornya. Dulu, ada SBI tenor satu bulan, 3 bulan, enam bulan, sembilan bulan, dan satu tahun. Awalnya, BI tidak melelang SBI satu bulan pada tahun lalu.

Kini mulai tahun ini, SBI tiga dan enam bulan sudah tidak dijual lagi. "Ini sebagai upaya kanalisasi hot money," kata Kepala Biro Humas BI, Diffi A. Johansyah, Kamis (10/2/2011).

Ia memaparkan, kanalisasi yang dimaksud adalah memecah derasnya aliran modal asing yang masuk atau capital flows menjadi aliran aliran-aliran kecil. “Untuk ini dibutuhkan outlet untuk menampung aliran-aliran tersebut,” tandasnya.

Header AD

Labels